Bangkit dari Keterpurukan Secepat Namanya "JetBlue"

Label:

JetBlue merupakan keajaiban bisnis. Ketika dua pesawat berbadan lebar ditabrakkan ke menara kembar World Trade Center, maskapai yang bermarkas di New York ini hendak meluncurkan sahamnya tepat pada 11 September 2001. Tragedi itu bukan cuma mengharuskan IPO JetBlue dibatalkan, tetapi juga menyebabkan industri penerbangan Amerika Serikat yang sudah limbung dihantam resesi berkepanjangan kian terpuruk.

Beberapa maskapai, yang notabene sudah besar dan berpengalaman, langsung mengibarkan bendera putih menyatakan diri bangkrut. Mereka tak kuat menahan rugi lebih lama. JetBlue? Maskapai yang waktu itu belum genap tiga tahun berdiri ini tetap mampu menangguk laba yang tak kecil yakni US$ 38,6 juta dari pendapatan yang US$ 320,4 juta pada 2001, tahun ketika industri penerbangan AS merugi US$ 7,7 miliar. Lalu, di kuartal I/2002, mereka meraup laba US$ 13 juta dari pendapatan US$ 133,4 juta, sementara industri penerbangan merugi US$ 2,4 miliar.

Itulah sebabnya, ketika saham dengan kode JBLU itu akhirnya ditawarkan ke masyarakat pada 12 April 2002, sambutan yang diterima luar biasa. Pada hari pertama saja saham JetBlue langsung meroket 67%, terbang paling tinggi di antara saham-saham yang diluncurkan di Wall Street selama setahun lebih.

Apa yang membuat JetBlue bisa lepas landas dengan mulus ketika beberapa nama besar justru harus mendarat darurat ? Apa kiat mereka untuk terus tumbuh di lahan bisnis yang membuat lebih dari 100 bisnis baru terkubur sejak deregulasi 1978 ? Jawabnya sangtlah sederhana, yakni David Neeleman  "Sang Pendiri" berani membuat JetBlue tampil beda.

Waktu memulai JetBlue, Neeleman terbilang nekat. Pada 1999 dunia penerbangan -- bukan cuma di AS sedang lesu darah. Di AS, maskapai penerbangan biasa seperti Continental telah bergelimpangan terpuruk biaya tinggi. Di sisi lain, pasar jasa penerbangan ekonomis telah didominasi Southwest Airlines yang didirikan Herbert D. Kelleher pada 1971. Dan dominasi ini tak tertembus. Bahkan, strategi Kelleher yang dikopi mentah Tony Ryan berhasil membuat Ryanair terbang tinggi, mendominasi bisnis penerbangan di Eropa. Dengan kata lain, kecil harapan bagi JetBlue bisa lepas landas.

Neeleman menyiasati keadaan dengan menambahkan nilai plus pada strategi Kelleher yang dia adopsi. Dia bukan sekadar menawarkan penerbangan ekonomis, melainkan layanan pelanggan berkelas dengan harga terjangkau, rata-rata US$ 99 sekali jalan. Bagi Neeleman, penerbangan yang tepat waktu, serta penanganan bagasi yang cepat dan memuaskan hanyalah layanan standar. Dia menawarkan lebih dari itu. Tempat duduk di JetBlue lebih lega, semua kursinya terbalut kulit dan dilengkapi layar TV 24 kanal.

Bagaimana mungkin di industri yang terkenal dengan margin yang rendah dan biaya tetapnya tinggi, JetBlue bisa memberikan kemewahan dengan harga tiket ? ala kadarnya ? Di sinilah kehebatan Neeleman. Sejak awal dia mengupayakan betul sistem teknologi informasi yang canggih. Sebagai pendatang baru, JetBlue diuntungkan karena bisa menerapkan terknologi mutakhir yang memungkinkan otomasi penuh, dari penjualan tiket berbasis Web sampai electronic tagging bagasi dan tas.

"Mereka meredefinisi apa yang diharapkan dari sebuah maskapai start-up", ujar Stuart Klaskin, konsultan bisnis penerbangan Coral Gables. "Mereka bangun semua dari sama sekali baru. Dan dari sisi teknologi ataupun layanan pelanggan, mereka telah melakukan apa yang oleh orang-orang maskapai lain baru dalam tahap pemikiran".

Kecuali itu, yang bikin Neeleman terlihat nekat adalah strategi memakai pesawat berkualitas yang gres, bukan pesawat bekas atau pesawat kelas dua, laiknya maskapai penerbangan ekonomis. Pesawat yang dipilih pun hanya satu macam, Airbus 320, sehingga biaya pemeliharaannya lebih murah walau harganya mahal.

Dengan pesawat baru ini, JetBlue mampu menekan biaya operasional sehingga cuma 70% biaya yang harus dikeluarkan maskapai besar. Maklum, pesawat JetBlue bisa lebih lama mengudara dan menghasilkan fulus, tidak harus nongkrong lama untuk perbaikan di hangar. Kecuali itu, karena tiketnya lebih murah, pesawatnya juga lebih penuh penumpang sejak penerbangan pertama pada 2000. Lalu, layanan yang bagus membuat 50% pelanggan memilih kembali terbang bersama JetBlue. Semua ini pada gilirannya membuat JetBlue mampu membukukan margin laba sampai dua digit, tertinggi di antara maskapai penerbangan yang ada.

Neeleman telah menggeluti bisnis sejak masih kuliah di Universitas Utah. Di awal 1980-an itu dia mendirikan biro perjalanan sehingga pendidikan tingginya tak rampung. Setelah itu, pada 1984, berkongsi dengan pemilik agen perjalanan lain, dia mendirikan Morris Air, maskapai regional yang berbasis di Salt Lake City, Utah. Pada 1993, Morris dicaplok oleh kampiun penerbangan ekonomis Southwest seharga US$ 130 juta. Karena ingin menerapkan e-ticket yang dikembangkan Neeleman, penganut Mormon yang taat ini ditawari sebagai anggota executive planning committee.

"Ketika saya di Southwest, Anda bahkan tidak bisa melakukan reservasi melalui telepon. Semua harus dilakukan di bandara",tutur Neeleman. "Dan mereka masih menggunakan sistem mainframe warisan perusahaan lama, Braniff".

Tak sabar dengan kelambatan Southwest mengadopsi teknologi baru, Neeleman hanya betah 6 bulan di maskapai yang bermarkas di Dallas. Ayah 6 anak ini mendapat pesangon lumayan, tetapi harus menandatangani noncompete agreement yang berlaku lima tahun. Sebab itu, dia lalu meneruskan pengembangan sistem akunting dan reservasi terpadu yang diciptakannya bersama David Evans ketika di Morris Air.

Dengan bendera Open Skies, Neeleman menawarkan sistem yang mengintegrasikan e-ticketing, Internet booking, dan perangkat revenue management sehingga dapat memberikan laporan oprasional dan keuangan secara tepat waktu itu ke maskapai menengah-kecil semacam WestJet dan Go Fly. Waktu luangnya dia gunakan mengembangkan ide yang kemudian melahirkan JetBlue. Patut dicatat, Neeleman juga membantu berdirinya WestJet, maskapai penerbangan ekonomis dari Kanada.

"Waktu itu kami menguji berbagai teknologi ?", ujarnya. Open Skies menjadi laboratorium besar buat JetBlue

Ketika perjanjian dengan Southwest selesai pada 1998, Neeleman langsung melego Open Skies ke Hewlett-Packard, keluar dari WestJet, dan mulai menggarap JetBlue. Dia menghimpun dana dari lima investor yang sebelumnya mendukung Morris Air, bahkan mendapat kepercayaan dari George Soros. Dia memilih New York City sebagai basis, tepatnya John F. Kennedy International Airport, yang sejak People Express bangkrut pada 1986 tak punya lagi maskapai penerbangan ekonomis. Sebagai markas besar perusahaan, dia memilih Forest Hills, juga di New York.

Neeleman menarik Dave Barger, veteran yang memimpin upaya turnaround Continental, sebagai president dan COO, sebelum mulai mengembangkan apa yang dia sebut maskapai yang ? hi-tech, hi-touch ?  Strategi ini bukan sekadar slogan. Seluruh proses bisnis JetBlue, bukan hanya ticketing dan reservasi, paperless sehingga lebih hemat.

"Yang mereka lakukan adalah menerapkan model bisnis elektronik abad ke-21 di industri penerbangan", ujar John Kasards, pakar industri penerbangan Sekolah Bisnis Kenan-Flagler, Universitas North Carolina. 

Mereka mengembangkan rencana layanan point-to-point di koridor yang memiliki volume tinggi, sehingga tak terjerat biaya tinggi proses bisnis yang rumit dari sistem hub-and-spoke yang digunakan maskapai besar untuk melayani kawasan yang luas. Dengan point-to-point di mana setiap pesawat hanya melayani satu rute, proses bisnis jauh lebih sederhana dan ketepatan penerbangan lebih terjamin. Untuk itu, JetBlue banyak memilih rute yang cukup padat namun belum banyak dilayani maskapai lain, seperti Denver dan New Orleans, dan menghindari rute yang kompetisinya sudah mencekik.

"Kami tak perlu jadi maskapai untuk semua orang, karena itu kami hanya menerbangi rute yang menghasilkan fulus ?", ujar Neeleman kalem. "Jadi, jangan heran kalau kami belum punya penerbangan ke Chicago".

Buat menyiasati biaya agen perjalanan (US$ 14/tiket), JetBlue mendirikan pusat reservasi di Utah. Menggunakan sistem voice-over-Internet protocol yang canggih, pekerjaan reservasi dapat dikerjakan di rumah para operator (biaya US$ 4,50/tiket). Pelanggan juga didorong untuk melakukan reservasi melalui JetBlue.com (biaya US$ 0,50/tiket).

Neeleman juga menciptakan kokpit yang paperless.  Para pilot tak diberi buku manual, melainkan komputer laptop sehingga manual yang ada gampang diperbarui. "Tanpa sistem ini, kami bisa kena delay setidaknya 15 atau 20 menit", ujar Kevin Carney, first officer JetBlue yang sebelumnya bekerja di US Airways.

Masih kurang ? JetBlue tak memiliki petugas kebersihan. Begitu mendarat, seluruh karyawan yang ada di pesawat tersebut, yang semua disebut sebagai anggota crew, membersihkan sendiri bagian dalam pesawat. Semua ? Ya, semua tanpa kecuali. Termasuk sang CEO sendiri kalau dia sedang dinas luar, naik pesawat JetBlue. Praktek yang satu ini meningkatkan self-belonging ? yang kemudian diperkuat lagi dengan pemberian saham dengan dividen yang besar ? selain menghemat biaya.

Ke mana penghematan ini pergi ? Itu tadi harga tiket yang murah dan kemewahan perangkat TV di setiap tempat duduk. Dan, menganut falsafah paranoid Andy Groove dari Intel, JetBlue juga berupaya selalu mengembalikannya dalam bentuk sesuatu yang baru, sebelum para pesaing memberikannya guna memastikan pelanggan mendapatkan pengalaman terbang yang jauh lebih berharga ketimbang ekspektasi.

"You can be efficient and effective and deliver a great experience at the same time", kata Neeleman seperti dikutip CIO Magazine.

Hal tersulit, diakui Neeleman, adalah menemukan nama perusahaan yang tepat. JetBlue, menurutnya, terdengar cool. Hal lain yang tak kalah sulit adalah menaruh orang yang tepat di tempat yang tepat.

Di tengah keberhasilan besar sebagai maskapai kecil, JetBlue terus memperkuat armadanya yang saat ini berjumlah 60 dan menerbangi 24 destinasi di 11 negara bagian dan Puerto Rico, dalam 240 penerbangan. Perusahaan yang saat ini memiliki 6 ribu karyawan ini memesan 123 A320 dengan opsi 50 pesawat lagi. Sebanyak 17 pesawat akan dikirim setiap tahun ? rata-rata  satu pesawat setiap tiga minggu ? sampai 2012 nanti.

Langkah ini juga dinilai edan, mengingat kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dan suplai berlebih di bisnis penerbangan. Akan tetapi, Neeleman yang oleh media dijuluki Lord of the Sky yakin, strateginya akan membuat JetBlue berada pada posisi terbaik ketika perekonomian mulai bangkit dalam waktu dekat.

Masalahnya kemudian, dapatkah JetBlue berpacu dengan pertumbuhannya sendiri yang sangat bongsor itu ? Dari segi teknologi, agaknya bisa. Neeleman telah mengembangkan teknolgi yang bertahun-tahun lebih maju di JetBlue. Yang agak sulit adalah dalam mempertahankan budaya perusahaan egaliter yang terbukti membuat JetBlue lebih bersahabat dengan pelanggan. Toh, melihat pengalaman Southwest, peluang JetBlue untuk menjadi penerbangan kesayangan tetap besar.

Dan jika budaya untuk selalu gesit terhadap perubahan bisa dipertahankan, bukan tak mungkin JetBlue akan menjadi perusahaan besar yang inovatif dan berani menghadang risiko. Memang tak banyak raksasa industri yang berani tampil beda ? kata lain dari nekat. Dari yang sedikit itu, di antaranya BP, Samsung dan Vodafone.

Dalam hal BP, langkah besar terbaru mereka dimulai pada 1997 ketika Sir John Browne, sang CEO, mencaplok Amoco, perusahaan minyak AS yang memiliki pasar ritel kuat di Pantai Timur. Pembentukan BP Amoco ini, plus konsolidasi industri hilir dan operasional pemasaran di Eropa dan Mobil yang di AS, segera saja memicu konsolidasi di industri migas dunia. Maka, Exxon lalu mencaplok Mobil (dan seluruh divisi ritelnya dijual ke BP yang segera berkibar jadi pemilik pompa bensin terbesar di Pantai Timur) dan Total (Prancis) mencaplok Petrolina (dari Belgia) sebelum akhirnya merger dengan pesaing dalam negeri, Elf Aquitance.

Langkah BP tak berhenti pada Amoco. Perusahaan yang bermarkas di London kemudian juga mengakuisisi Arco. Dengan pencaplokan perusahaan yang berbasis di Kalifornia ini, BP menguasai ladang minyak terbesar di Alaska, selain jaringan ritel terbesar di Pantai Barat. Akuisisi Castrol memperkuat posisi BP sebagai perusahaan migas terintegrasi ketiga terbesar di dunia.

Bukan Browne kalau dia puas sampai di situ. "No advantage and no success is ever permanent.The winners are those who are keep moving", ujarnya. Itu sebabnya, lulusan Universitas Stanford ini selalu meningkatkan kemampuan perusahaan buat bikin keputusan kilat guna mengimbangi pasar yang berubah cepat.

Ketika perusahaan migas lain masih berkilah bahwa pemanasan global itu cuma mitos, pada 1997 Browne telah berani mengakui bahwa penggunaan bahan bakal fosil punya andil dalam masalah lingkungan yang satu itu. Dia bahkan meratifikasi Protokol Kyoto yang oleh adidaya AS dijauhi. Setelah akuisisi Amoco, pada 1999 BP meluncurkan kampanye Beyond Petroleum dan berjanji akan meningkatkan bisnis energi tenaga suryanya sampai 10 kali lipat menjadi US$ 1 miliar dalam satu dasawarsa.

Investasi di bisnis energi tenaga surya ini sebetulnya kecil saja. Namun, perusahaan yang diberi nama BP Solarex itu sangat meningkatkan aset intangible BP yang segera dikenal sebagai perusahaan migas yang paling peduli lingkungan. Di tengah kecenderungan kalangan reksa dana dan investor institusi lain menerapkan strategi ? yang terbaik di kelasnya ? buat menyaring perusahaan dalam hal yang terkait isu sosial dan lingkungan, saham BP pun memiliki daya tarik tersendiri.

Awal Februari 2003, Browne bikin kejutan lagi. Ketika perusahaan migas lain masih ragu dengan masa depan Rusia, dia merogoh kocek US$ 7,7 miliar buat mencaplok 50% saham perusahaan migas keempat terbesar bekas Negeri Tirai Besi itu, Tyumen Oil Company. Padahal, setahun sebelumnya, bisnis BP di Rusia merugi. Pembentukan perusahaan baru yang mewadahi bisnis patungan itu dilakukan pada September 2003.

"Itulah investasi terbesar di Rusia oleh sebuah perusahaan tunggal", ujar Browne bangga. Terbesar dan tertinggi dalam persentase pengambilalihan saham. Dalam memasuki pasar baru, apalagi yang begitu volatil seperti Rusia, sebuah perusahaan biasanya paling hanya berani mengakuisisi 20% saham pada tahap awal.

Kendati demikian,  Browne tentu punya alasan ketika mengayunkan strategi nekatnya. Dia ingin BP yang telah beroperasi di 100 negara bisa gampang masuk ke Irak, dan dia tahu bahwa Tyumen menguasai kontrak ladang migas yang besar di Negeri 1001 Malam itu.

Kampiun industri elektronik Korea, Samsung, membuat taruhan yang tak kalah besar ? yang juga bisa membuat perusahaan gonjang-ganjing kalau gagal ? ketika membenamkan puluhan triliun won untuk pengembangan produk TV plasma dan LCD. Padahal, Sony saja yang terkenal sangat inivatif masih menunggu waktu. Alasannya: TV LCD dan terutama plasma, masih akan kelewat mahal untuk diproduksi.

Toh, pertaruhan besar Samsung tak sia-sia. Pada setiap eksibisi, mereka selalu berhasil menampilkan produk TV plasma paling canggih, dengan ukuran layar terbesar dan resolusi terbaik. Teknologi system on glass canggih yang dikembangkan sendiri membuat Samsung mampu menciptakan produk yang lebih bagus, ringan dan murah. Lompatan teknologi seperti ini akan membuat Samsung memiliki posisi yang lebih baik dalam persaingan produk masa depan.

"Pada Maret 2004, penjualan produk LCD Samsung sudah mencapai 1,1 triliun won (US$ 860 juta)", tulis globalsources.com pada akhir April lalu. Angka penjualan ini sudah menyalip LG dan hanya kalah dari Philips.

Kecuali itu, munculnya produk hi-end mendahului banyak pesaing juga mendongkrak kepercayaan masyarakat terhadap produk TV biasa yang masih banyak ditawarkan sekarang. Hal ini membuat Samsung mampu merebut pasar TV dunia dari Sony, 'saudara tua? yang dulu merakitkan produk TV hitam-putih di masa awal berdirinya sang chaebol.

Kemajuan di industri TV ini ikut membuat produk Samsung yang terkait, seperti monitor komputer, terdongkrak tinggi dari segi teknologi ataupun citra. Hebatnya lagi, mereka juga mulai berjaya di industri telepon seluler. Sebelumnya, Samsung pernah mengayun langkah nekat membanjiri dunia dengan memory chip sampai akhirnya berakibat menjadi perusahaan semikonduktor terakbar di planet bumi.

Dalam hal Vodafone, keberhasilan perusahaan ini berkibar menjadi operator telepon nirkabel terbesar di dunia lebih merupakan hasil dari strategi yang mirip BP ketimbang JetBlue atau Samsung. Perusahaan Inggris yang terdaftar di Wall Street dan London Stock Exchange ini terutama banyak mengakuisisi ketika di bawah komando Sir Christopher Gent, CEO yang lalu.

Bukan berarti, setelah mampu melebarkan sayap bisnis ke seluruh Eropa, AS ? bahkan sampai ke Jepang dan Cina di Asia serta Australia dan Selandia Baru ? Vodafone di bawah CEO Arun Sarin malas unjuk gigi. Baru 6 bulan menduduki jabatan puncak, Sarin telah mengerahkan daya buat mencaplok AT&T Wireless, operator telepon nirkabel terbesar AS. Upaya akuisisi senilai US$ 35 miliar ini memang gagal, tetapi telah menunjukkan DNA dari Vodafone sebagai perusahaan yang agresif walau harus berkonsolidasi internal.

Strategi Vodafone jelas, Mereka ingin membangun perusahaan komunikasi global yang efektif, tersentralisasi, dan mampu menguasai pasar di berbagai belahan dunia. Upaya akuisisi AT&T Wireless adalah jalan termudah menjadi operator telepon nirkabel terbesar di AS. Apalagi, AT&T memiliki jaringan GSM yang dengan mudah dapat diintegrasikan dengan jaringan mereka di Eropa.

Di Jepang, Vodafone juga berupaya meningkatkan pangsa pasar yang baru 18,4%. Namun, rupanya tak gampang menyalip KDDI yang tumbuh pesat, apalagi NTT DoCoMo dan KDDI yang telah lama menancapkan dominasinya. Di Eropa sendiri, Sarin tak menyembunyikan ambisi mencaplok Groupe SFR Cegetel dari Vivendi Universal yang sedang limbung dan mengambil alih 23,1% saham Verizon Communications Inc. di Vodafone, Italia. Para analis yakin, Sarin juga telah mengincar India dan Rusia. "Nothing is imminent, and everything is possible", ujar lelaki kelahiran India itu.

Untuk bisa besar dan memenangkan persaingan global yang supersengit, peluang memang tak boleh dibatasi. Segala langkah, walau kelihatan nekat bahkan edan, harus berani diayun. Kalau tidak, pesaing akan melompat lebih dulu.


Widyatama Blog Contest

Hubungan Antara Teori Porter dan Teknologi Informasi

Label: ,

Tidak ada teori yang sepopuler “Value Chain”-nya Michael Porter (Porter: 1985) di era organisasi modern saat ini, terutama yang berkaitan dengan process reengineering (pendekatan Business Process Reengineering sendiri diperkenalkan oleh Michael Hammer, namun Michael Porter memberikan kerangka metodologi untuk mengadakan process reengineering).
Porter menyarankan bahwa langkah awal yang harrus dilakukan baik dalam menganalisa maupun mendesain proses bisnis yang ada di perusahaan adalah dengan membuat “Value Chain” (rantai nilai) dari proses-proses utama (core processes) dan aktivitas penunjangnya (supporting activities).
Proses utama tidak lain adalah urutan global proses yang terjadi di perusahaan, mulai dari bahan mentah yang diperoleh dari supplier, diolah oleh perusahaan, sampai ketangan customer atau pembeli produk maupun jasa.

Namun, ada satu kritik yang diberikan oleh beberapa praktisi sehubungan dengan “Generic Value Chain”. Pada saat Porter mengajukan teorinya ini, teknologi informasi belum semaju saat ini. Sehingga di dalam Supporting Activities yang bersangkutan meletakkannya sebagai salah satu bagian dari teknologi umum, yang notabene berfungsi sebagai aktivitas penunjang proses-proses utama perusahaan. Dan ini meruupakan teori lama yang mengatakan bahwa “Information technology has to support the business” dibandingkan dengan teori baru seperti “Business has to follow the information technology to gain competitive advantage” atau “Business should align with information technology development”.
Masalah utama dengan pendekatan ini adalah dengan mengklasifikasikan teknologi informasi sebagai fasilitas penunjang dan pelaku bisnis akan melihatnya lebih sebagai “non-value added activity” (aktivitas yang tidak memiliki nilai tambah) sehingga investasi yang diberikan akan dibatasi seminimum mungkin karena sifatnya sebagai salah satu “cost center”. Memang hal ini cukup tepat jika ingin diterapkan pada perusahaan-perusahaan manufaktur dan jika ingin diterapkan pada perusahaan yang bergerak di bidang jasa akan berdampak cukup fatal. Mengapa demikian ? Karena dalam perusahaan jasa, yang menjadi kunci adalah kepuasan pelanggan penerima jasa yang ditawarkan perusahaan. Kepuasan pelanggan dalam hal ini tidak hanya berdasarkan kualitas pelayanan saja, namun lebih kepada fleksibilitas menerima pelayanan tersebut.  Contohnya adalah seorang nasabah yang ingin dapat mentransfer uangnya ke mana saja, kapan saja, di mana saja, dan melalui cara apa saja. Tentu saja teknologi informasi di sini merupakan komponen utama dalam “core processes”.
Melihat kelemahan tersebut, Porter dalam bukunya yang lain memasukkan unsur teknologi informasi kedalam kerangka “Value Chain”. Sesuai dengan teori “Competitive Advantage” yang ditawarkan, ada dua cara untuk melakukan persaingan dalam bisnis (Remenyi et.al: 1995) :
  1. Product Differentiation, dengan menawarkan produk yang sama sekali baru dan sulit ditiru oleh para pesaing lain; atau
  2. Lower Price, dengan cara menjual produk sejenis dengan harga yang lebih murah.
Berikut ini adalah contoh-contoh aplikasi yang dapat dimanfaatkan organisasi atau perusahaan untuk dapat menghasilkan suatu produk yang lebih murah daripada kompetitor (lower price) dan bagaimana aplikasi-aplikasi teknologi informasi dapat dilibatkan dalam kerangka “value chain” untuk membantu strategi “product differentiation”.
Hal pokok yang harus diperhatikan sehubungan dengan hal ini adalah manajemen harus dapat membedakan, aplikasi teknologi informasi mana saja yang termasuk Core Processes dan yang merupakan Support Activities. Sebuah konsultan internasional memberikan definisi khusus mengenai kriteria proses Value Added (yang pada dasarnya dapat digolongkan sebagai Core Processes) sebagai berikut :
  1. Sesuatu hal yang sangat kritikal bagi bisnis perusahaan (Critical to the business), tanpa proses yang bersangkutan, perusahaan tidak dapat berlangsung (terpaksa gulung tikar);
  2. Sesuatu yang secara langsung terlibat dalam proses penciptaan produk atau pelayanan yang ditawarkan perusahaan; dan
  3. Pelanggan bersedia “membayar” untuk keperluan proses tersebut (Customer is willing to pay for the activities”). Misalnya seorang nasabah yang mau membayar ekstra Rp 50,000 per bulan untuk mendapatkan kartu ATM khusus yang dapat dipergunakan di seluruh dunia.
Investasi teknologi informasi yang layak dilakukan, adalah yang secara jelas berfungsi dalam mendukung proses “value added” di atas. Sementara untuk hal-hal yang bersifat “non-value added”, sedapat mungkin investasi teknologi informasi harus ditekan secara minimal, karena secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi biaya pembuatan produk atau pelayanan yang ditawarkan kepada pelanggan (karena biaya ini akan dikompensasikan ke dalam harga produk atau pelayanan), yang kalau tidak dikontrol dengan baik, akan mengakibatkan sulitnya perusahaan berkompetisi dengan para pesaing yang menawarkan produk dan pelayanan sama dengan harga yang lebih murah.


Sistem Koloid

Label:

Materi Pembelajaran tentang Sistem Koloid yang menggunakan Multimedia. Untuk lebih jelasnya, silahkan download dengan link di bawah ini:
http://www.ziddu.com/download/18550703/sistemkoloid.exe.html