Hubungan Antara Teori Porter dan Teknologi Informasi

Label: ,

Tidak ada teori yang sepopuler “Value Chain”-nya Michael Porter (Porter: 1985) di era organisasi modern saat ini, terutama yang berkaitan dengan process reengineering (pendekatan Business Process Reengineering sendiri diperkenalkan oleh Michael Hammer, namun Michael Porter memberikan kerangka metodologi untuk mengadakan process reengineering).
Porter menyarankan bahwa langkah awal yang harrus dilakukan baik dalam menganalisa maupun mendesain proses bisnis yang ada di perusahaan adalah dengan membuat “Value Chain” (rantai nilai) dari proses-proses utama (core processes) dan aktivitas penunjangnya (supporting activities).
Proses utama tidak lain adalah urutan global proses yang terjadi di perusahaan, mulai dari bahan mentah yang diperoleh dari supplier, diolah oleh perusahaan, sampai ketangan customer atau pembeli produk maupun jasa.

Namun, ada satu kritik yang diberikan oleh beberapa praktisi sehubungan dengan “Generic Value Chain”. Pada saat Porter mengajukan teorinya ini, teknologi informasi belum semaju saat ini. Sehingga di dalam Supporting Activities yang bersangkutan meletakkannya sebagai salah satu bagian dari teknologi umum, yang notabene berfungsi sebagai aktivitas penunjang proses-proses utama perusahaan. Dan ini meruupakan teori lama yang mengatakan bahwa “Information technology has to support the business” dibandingkan dengan teori baru seperti “Business has to follow the information technology to gain competitive advantage” atau “Business should align with information technology development”.
Masalah utama dengan pendekatan ini adalah dengan mengklasifikasikan teknologi informasi sebagai fasilitas penunjang dan pelaku bisnis akan melihatnya lebih sebagai “non-value added activity” (aktivitas yang tidak memiliki nilai tambah) sehingga investasi yang diberikan akan dibatasi seminimum mungkin karena sifatnya sebagai salah satu “cost center”. Memang hal ini cukup tepat jika ingin diterapkan pada perusahaan-perusahaan manufaktur dan jika ingin diterapkan pada perusahaan yang bergerak di bidang jasa akan berdampak cukup fatal. Mengapa demikian ? Karena dalam perusahaan jasa, yang menjadi kunci adalah kepuasan pelanggan penerima jasa yang ditawarkan perusahaan. Kepuasan pelanggan dalam hal ini tidak hanya berdasarkan kualitas pelayanan saja, namun lebih kepada fleksibilitas menerima pelayanan tersebut.  Contohnya adalah seorang nasabah yang ingin dapat mentransfer uangnya ke mana saja, kapan saja, di mana saja, dan melalui cara apa saja. Tentu saja teknologi informasi di sini merupakan komponen utama dalam “core processes”.
Melihat kelemahan tersebut, Porter dalam bukunya yang lain memasukkan unsur teknologi informasi kedalam kerangka “Value Chain”. Sesuai dengan teori “Competitive Advantage” yang ditawarkan, ada dua cara untuk melakukan persaingan dalam bisnis (Remenyi et.al: 1995) :
  1. Product Differentiation, dengan menawarkan produk yang sama sekali baru dan sulit ditiru oleh para pesaing lain; atau
  2. Lower Price, dengan cara menjual produk sejenis dengan harga yang lebih murah.
Berikut ini adalah contoh-contoh aplikasi yang dapat dimanfaatkan organisasi atau perusahaan untuk dapat menghasilkan suatu produk yang lebih murah daripada kompetitor (lower price) dan bagaimana aplikasi-aplikasi teknologi informasi dapat dilibatkan dalam kerangka “value chain” untuk membantu strategi “product differentiation”.
Hal pokok yang harus diperhatikan sehubungan dengan hal ini adalah manajemen harus dapat membedakan, aplikasi teknologi informasi mana saja yang termasuk Core Processes dan yang merupakan Support Activities. Sebuah konsultan internasional memberikan definisi khusus mengenai kriteria proses Value Added (yang pada dasarnya dapat digolongkan sebagai Core Processes) sebagai berikut :
  1. Sesuatu hal yang sangat kritikal bagi bisnis perusahaan (Critical to the business), tanpa proses yang bersangkutan, perusahaan tidak dapat berlangsung (terpaksa gulung tikar);
  2. Sesuatu yang secara langsung terlibat dalam proses penciptaan produk atau pelayanan yang ditawarkan perusahaan; dan
  3. Pelanggan bersedia “membayar” untuk keperluan proses tersebut (Customer is willing to pay for the activities”). Misalnya seorang nasabah yang mau membayar ekstra Rp 50,000 per bulan untuk mendapatkan kartu ATM khusus yang dapat dipergunakan di seluruh dunia.
Investasi teknologi informasi yang layak dilakukan, adalah yang secara jelas berfungsi dalam mendukung proses “value added” di atas. Sementara untuk hal-hal yang bersifat “non-value added”, sedapat mungkin investasi teknologi informasi harus ditekan secara minimal, karena secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi biaya pembuatan produk atau pelayanan yang ditawarkan kepada pelanggan (karena biaya ini akan dikompensasikan ke dalam harga produk atau pelayanan), yang kalau tidak dikontrol dengan baik, akan mengakibatkan sulitnya perusahaan berkompetisi dengan para pesaing yang menawarkan produk dan pelayanan sama dengan harga yang lebih murah.


0 komentar :

Posting Komentar