JetBlue merupakan keajaiban bisnis.
Ketika dua pesawat berbadan lebar ditabrakkan ke menara kembar World
Trade Center, maskapai yang bermarkas di New York ini hendak meluncurkan
sahamnya tepat pada 11 September 2001. Tragedi itu bukan cuma
mengharuskan IPO JetBlue dibatalkan, tetapi juga menyebabkan industri
penerbangan Amerika Serikat yang sudah limbung dihantam resesi
berkepanjangan kian terpuruk.
Beberapa
maskapai, yang notabene sudah besar dan berpengalaman, langsung
mengibarkan bendera putih menyatakan diri bangkrut. Mereka tak kuat
menahan rugi lebih lama. JetBlue? Maskapai yang waktu itu belum genap
tiga tahun berdiri ini tetap mampu menangguk laba yang tak kecil yakni US$
38,6 juta dari pendapatan yang US$ 320,4 juta pada 2001, tahun ketika
industri penerbangan AS merugi US$ 7,7 miliar. Lalu, di kuartal I/2002,
mereka meraup laba US$ 13 juta dari pendapatan US$ 133,4 juta, sementara
industri penerbangan merugi US$ 2,4 miliar.
Itulah
sebabnya, ketika saham dengan kode JBLU itu akhirnya ditawarkan ke
masyarakat pada 12 April 2002, sambutan yang diterima luar biasa. Pada
hari pertama saja saham JetBlue langsung meroket 67%, terbang paling
tinggi di antara saham-saham yang diluncurkan di Wall Street selama
setahun lebih.
Apa
yang membuat JetBlue bisa lepas landas dengan mulus ketika beberapa
nama besar justru harus mendarat darurat ? Apa kiat mereka untuk terus
tumbuh di lahan bisnis yang membuat lebih dari 100 bisnis baru terkubur
sejak deregulasi 1978 ? Jawabnya sangtlah sederhana, yakni David Neeleman "Sang Pendiri"
berani membuat JetBlue tampil beda.
Waktu
memulai JetBlue, Neeleman terbilang nekat. Pada 1999 dunia penerbangan
-- bukan cuma di AS sedang lesu darah. Di AS, maskapai penerbangan
biasa seperti Continental telah bergelimpangan terpuruk biaya tinggi. Di
sisi lain, pasar jasa penerbangan ekonomis telah didominasi Southwest
Airlines yang didirikan Herbert D. Kelleher pada 1971. Dan dominasi ini
tak tertembus. Bahkan, strategi Kelleher yang dikopi mentah Tony Ryan
berhasil membuat Ryanair terbang tinggi, mendominasi bisnis penerbangan
di Eropa. Dengan kata lain, kecil harapan bagi JetBlue bisa lepas
landas.
Neeleman
menyiasati keadaan dengan menambahkan nilai plus pada strategi Kelleher
yang dia adopsi. Dia bukan sekadar menawarkan penerbangan ekonomis,
melainkan layanan pelanggan berkelas dengan harga terjangkau, rata-rata
US$ 99 sekali jalan. Bagi Neeleman, penerbangan yang tepat waktu, serta
penanganan bagasi yang cepat dan memuaskan hanyalah layanan standar.
Dia menawarkan lebih dari itu. Tempat duduk di JetBlue lebih lega, semua
kursinya terbalut kulit dan dilengkapi layar TV 24 kanal.
Bagaimana
mungkin di industri yang terkenal dengan margin yang rendah dan biaya
tetapnya tinggi, JetBlue bisa memberikan kemewahan dengan harga tiket
? ala kadarnya ? Di sinilah kehebatan Neeleman. Sejak awal dia
mengupayakan betul sistem teknologi informasi yang canggih. Sebagai pendatang baru, JetBlue diuntungkan karena bisa
menerapkan terknologi mutakhir yang memungkinkan otomasi penuh, dari
penjualan tiket berbasis Web sampai electronic tagging bagasi dan tas.
"Mereka meredefinisi apa yang diharapkan dari sebuah maskapai start-up",
ujar Stuart Klaskin, konsultan bisnis penerbangan Coral Gables. "Mereka
bangun semua dari sama sekali baru. Dan dari sisi teknologi ataupun
layanan pelanggan, mereka telah melakukan apa yang oleh orang-orang
maskapai lain baru dalam tahap pemikiran".
Kecuali
itu, yang bikin Neeleman terlihat nekat adalah strategi memakai pesawat
berkualitas yang gres, bukan pesawat bekas atau pesawat kelas dua,
laiknya maskapai penerbangan ekonomis. Pesawat yang dipilih pun hanya
satu macam, Airbus 320, sehingga biaya pemeliharaannya lebih murah walau
harganya mahal.
Dengan
pesawat baru ini, JetBlue mampu menekan biaya operasional sehingga cuma
70% biaya yang harus dikeluarkan maskapai besar. Maklum, pesawat
JetBlue bisa lebih lama mengudara dan menghasilkan fulus, tidak harus nongkrong
lama untuk perbaikan di hangar. Kecuali itu, karena tiketnya lebih
murah, pesawatnya juga lebih penuh penumpang sejak penerbangan pertama
pada 2000. Lalu, layanan yang bagus membuat 50% pelanggan memilih
kembali terbang bersama JetBlue. Semua ini pada gilirannya membuat
JetBlue mampu membukukan margin laba sampai dua digit, tertinggi di
antara maskapai penerbangan yang ada.
Neeleman
telah menggeluti bisnis sejak masih kuliah di Universitas Utah. Di awal
1980-an itu dia mendirikan biro perjalanan sehingga pendidikan
tingginya tak rampung. Setelah itu, pada 1984, berkongsi dengan pemilik
agen perjalanan lain, dia mendirikan Morris Air, maskapai regional yang
berbasis di Salt Lake City, Utah. Pada 1993, Morris dicaplok oleh
kampiun penerbangan ekonomis Southwest seharga US$ 130 juta. Karena
ingin menerapkan e-ticket yang dikembangkan Neeleman, penganut Mormon yang taat ini ditawari sebagai anggota executive planning committee.
"Ketika saya di Southwest, Anda bahkan tidak bisa
melakukan reservasi melalui telepon. Semua harus dilakukan di bandara",tutur Neeleman. "Dan mereka masih menggunakan sistem mainframe warisan perusahaan lama, Braniff".
Tak
sabar dengan kelambatan Southwest mengadopsi teknologi baru, Neeleman
hanya betah 6 bulan di maskapai yang bermarkas di Dallas. Ayah 6 anak
ini mendapat pesangon lumayan, tetapi harus menandatangani noncompete agreement
yang berlaku lima tahun. Sebab itu, dia lalu meneruskan pengembangan
sistem akunting dan reservasi terpadu yang diciptakannya bersama David
Evans ketika di Morris Air.
Dengan bendera Open Skies, Neeleman menawarkan sistem yang mengintegrasikan e-ticketing, Internet booking, dan perangkat revenue management
sehingga dapat memberikan laporan oprasional dan keuangan secara tepat
waktu itu ke maskapai menengah-kecil semacam WestJet dan Go Fly. Waktu
luangnya dia gunakan mengembangkan ide yang kemudian melahirkan JetBlue.
Patut dicatat, Neeleman juga membantu berdirinya WestJet, maskapai
penerbangan ekonomis dari Kanada.
"Waktu itu kami menguji berbagai teknologi ?", ujarnya. Open Skies menjadi laboratorium besar buat JetBlue
Ketika
perjanjian dengan Southwest selesai pada 1998, Neeleman langsung melego
Open Skies ke Hewlett-Packard, keluar dari WestJet, dan mulai menggarap
JetBlue. Dia menghimpun dana dari lima investor yang sebelumnya
mendukung Morris Air, bahkan mendapat kepercayaan dari George Soros. Dia
memilih New York City sebagai basis, tepatnya John F. Kennedy
International Airport, yang sejak People Express bangkrut pada 1986 tak
punya lagi maskapai penerbangan ekonomis. Sebagai markas besar
perusahaan, dia memilih Forest Hills, juga di New York.
Neeleman menarik Dave Barger, veteran yang memimpin upaya turnaround Continental, sebagai president dan COO, sebelum mulai mengembangkan apa yang dia sebut maskapai yang ? hi-tech, hi-touch ? Strategi ini bukan sekadar slogan. Seluruh proses bisnis JetBlue, bukan hanya ticketing dan reservasi, paperless sehingga lebih hemat.
"Yang mereka lakukan adalah menerapkan model bisnis elektronik abad ke-21 di industri penerbangan", ujar John Kasards, pakar industri penerbangan Sekolah Bisnis Kenan-Flagler, Universitas North Carolina.
Mereka mengembangkan rencana layanan point-to-point di koridor yang memiliki volume tinggi, sehingga tak terjerat biaya tinggi proses bisnis yang rumit dari sistem hub-and-spoke yang digunakan maskapai besar untuk melayani kawasan yang luas. Dengan point-to-point
di mana setiap pesawat hanya melayani satu rute, proses bisnis jauh
lebih sederhana dan ketepatan penerbangan lebih terjamin. Untuk itu,
JetBlue banyak memilih rute yang cukup padat namun belum banyak dilayani
maskapai lain, seperti Denver dan New Orleans, dan menghindari rute
yang kompetisinya sudah mencekik.
"Kami
tak perlu jadi maskapai untuk semua orang, karena itu kami hanya
menerbangi rute yang menghasilkan fulus ?", ujar Neeleman kalem. "Jadi,
jangan heran kalau kami belum punya penerbangan ke Chicago".
Buat menyiasati biaya agen perjalanan (US$ 14/tiket), JetBlue mendirikan pusat reservasi di Utah. Menggunakan sistem voice-over-Internet protocol
yang canggih, pekerjaan reservasi dapat dikerjakan di rumah para
operator (biaya US$ 4,50/tiket). Pelanggan juga didorong untuk melakukan
reservasi melalui JetBlue.com (biaya US$ 0,50/tiket).
Neeleman juga menciptakan kokpit yang paperless. Para
pilot tak diberi buku manual, melainkan komputer laptop sehingga manual
yang ada gampang diperbarui. "Tanpa sistem ini, kami bisa kena delay setidaknya 15 atau 20 menit", ujar Kevin Carney, first officer JetBlue yang sebelumnya bekerja di US Airways.
Masih
kurang ? JetBlue tak memiliki petugas kebersihan. Begitu mendarat,
seluruh karyawan yang ada di pesawat tersebut, yang semua disebut
sebagai anggota crew, membersihkan sendiri bagian dalam pesawat.
Semua ? Ya, semua tanpa kecuali. Termasuk sang CEO sendiri kalau dia
sedang dinas luar, naik pesawat JetBlue. Praktek yang satu ini
meningkatkan self-belonging ? yang kemudian diperkuat lagi dengan pemberian saham dengan dividen yang besar ? selain menghemat biaya.
Ke
mana penghematan ini pergi ? Itu tadi harga tiket yang murah dan
kemewahan perangkat TV di setiap tempat duduk. Dan, menganut falsafah
paranoid Andy Groove dari Intel, JetBlue juga berupaya selalu
mengembalikannya dalam bentuk sesuatu yang baru, sebelum para pesaing
memberikannya guna memastikan pelanggan mendapatkan pengalaman terbang
yang jauh lebih berharga ketimbang ekspektasi.
"You can be efficient and effective and deliver a great experience at the same time", kata Neeleman seperti dikutip CIO Magazine.
Hal tersulit, diakui Neeleman, adalah menemukan nama perusahaan yang tepat. JetBlue, menurutnya, terdengar cool. Hal lain yang tak kalah sulit adalah menaruh orang yang tepat di tempat yang tepat.
Di
tengah keberhasilan besar sebagai maskapai kecil, JetBlue terus
memperkuat armadanya yang saat ini berjumlah 60 dan menerbangi 24
destinasi di 11 negara bagian dan Puerto Rico, dalam 240 penerbangan.
Perusahaan yang saat ini memiliki 6 ribu karyawan ini memesan 123 A320
dengan opsi 50 pesawat lagi. Sebanyak 17 pesawat akan dikirim setiap
tahun ? rata-rata satu pesawat setiap tiga minggu ? sampai 2012 nanti.
Langkah
ini juga dinilai edan, mengingat kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya
pulih dan suplai berlebih di bisnis penerbangan. Akan tetapi, Neeleman
yang oleh media dijuluki Lord of the Sky yakin, strateginya akan membuat JetBlue berada pada posisi terbaik ketika perekonomian mulai bangkit dalam waktu dekat.
Masalahnya
kemudian, dapatkah JetBlue berpacu dengan pertumbuhannya sendiri yang
sangat bongsor itu ? Dari segi teknologi, agaknya bisa. Neeleman telah
mengembangkan teknolgi yang bertahun-tahun lebih maju di JetBlue. Yang
agak sulit adalah dalam mempertahankan budaya perusahaan egaliter yang
terbukti membuat JetBlue lebih bersahabat dengan pelanggan. Toh, melihat
pengalaman Southwest, peluang JetBlue untuk menjadi penerbangan
kesayangan tetap besar.
Dan
jika budaya untuk selalu gesit terhadap perubahan bisa dipertahankan,
bukan tak mungkin JetBlue akan menjadi perusahaan besar yang inovatif
dan berani menghadang risiko. Memang tak banyak raksasa industri yang
berani tampil beda ? kata lain dari nekat. Dari yang sedikit itu, di
antaranya BP, Samsung dan Vodafone.
Dalam hal BP, langkah besar terbaru mereka dimulai pada 1997 ketika Sir John
Browne, sang CEO, mencaplok Amoco, perusahaan minyak AS yang memiliki
pasar ritel kuat di Pantai Timur. Pembentukan BP Amoco ini, plus konsolidasi
industri hilir dan operasional pemasaran di Eropa dan Mobil yang di AS,
segera saja memicu konsolidasi di industri migas dunia. Maka, Exxon
lalu mencaplok Mobil (dan seluruh divisi ritelnya dijual ke BP yang
segera berkibar jadi pemilik pompa bensin terbesar di Pantai Timur) dan
Total (Prancis) mencaplok Petrolina (dari Belgia) sebelum akhirnya
merger dengan pesaing dalam negeri, Elf Aquitance.
Langkah
BP tak berhenti pada Amoco. Perusahaan yang bermarkas di London
kemudian juga mengakuisisi Arco. Dengan pencaplokan perusahaan yang
berbasis di Kalifornia ini, BP menguasai ladang minyak terbesar di
Alaska, selain jaringan ritel terbesar di Pantai Barat. Akuisisi Castrol
memperkuat posisi BP sebagai perusahaan migas terintegrasi ketiga
terbesar di dunia.
Bukan Browne kalau dia puas sampai di situ. "No advantage and no success is ever permanent.The winners are those who are keep moving", ujarnya.
Itu sebabnya, lulusan Universitas Stanford ini selalu meningkatkan
kemampuan perusahaan buat bikin keputusan kilat guna mengimbangi pasar
yang berubah cepat.
Ketika
perusahaan migas lain masih berkilah bahwa pemanasan global itu cuma
mitos, pada 1997 Browne telah berani mengakui bahwa penggunaan bahan
bakal fosil punya andil dalam masalah lingkungan yang satu itu. Dia
bahkan meratifikasi Protokol Kyoto yang oleh adidaya AS dijauhi. Setelah
akuisisi Amoco, pada 1999 BP meluncurkan kampanye Beyond Petroleum dan
berjanji akan meningkatkan bisnis energi tenaga suryanya sampai 10 kali
lipat menjadi US$ 1 miliar dalam satu dasawarsa.
Investasi
di bisnis energi tenaga surya ini sebetulnya kecil saja. Namun,
perusahaan yang diberi nama BP Solarex itu sangat meningkatkan aset intangible
BP yang segera dikenal sebagai perusahaan migas yang paling peduli
lingkungan. Di tengah kecenderungan kalangan reksa dana dan investor
institusi lain menerapkan strategi ? yang terbaik di kelasnya ? buat
menyaring perusahaan dalam hal yang terkait isu sosial dan lingkungan,
saham BP pun memiliki daya tarik tersendiri.
Awal
Februari 2003, Browne bikin kejutan lagi. Ketika perusahaan migas lain
masih ragu dengan masa depan Rusia, dia merogoh kocek US$ 7,7 miliar
buat mencaplok 50% saham perusahaan migas keempat terbesar bekas Negeri
Tirai Besi itu, Tyumen Oil Company. Padahal, setahun sebelumnya, bisnis
BP di Rusia merugi. Pembentukan perusahaan baru yang mewadahi bisnis
patungan itu dilakukan pada September 2003.
"Itulah
investasi terbesar di Rusia oleh sebuah perusahaan tunggal", ujar
Browne bangga. Terbesar dan tertinggi dalam persentase pengambilalihan
saham. Dalam memasuki pasar baru, apalagi yang begitu volatil seperti
Rusia, sebuah perusahaan biasanya paling hanya berani mengakuisisi 20%
saham pada tahap awal.
Kendati demikian, Browne
tentu punya alasan ketika mengayunkan strategi nekatnya. Dia ingin BP
yang telah beroperasi di 100 negara bisa gampang masuk ke Irak, dan dia
tahu bahwa Tyumen menguasai kontrak ladang migas yang besar di Negeri
1001 Malam itu.
Kampiun
industri elektronik Korea, Samsung, membuat taruhan yang tak kalah
besar ? yang juga bisa membuat perusahaan gonjang-ganjing kalau gagal ?
ketika membenamkan puluhan triliun won untuk pengembangan produk TV
plasma dan LCD. Padahal, Sony saja yang terkenal sangat inivatif masih
menunggu waktu. Alasannya: TV LCD dan terutama plasma, masih akan
kelewat mahal untuk diproduksi.
Toh,
pertaruhan besar Samsung tak sia-sia. Pada setiap eksibisi, mereka
selalu berhasil menampilkan produk TV plasma paling canggih, dengan
ukuran layar terbesar dan resolusi terbaik. Teknologi system on glass
canggih yang dikembangkan sendiri membuat Samsung mampu menciptakan
produk yang lebih bagus, ringan dan murah. Lompatan teknologi seperti
ini akan membuat Samsung memiliki posisi yang lebih baik dalam
persaingan produk masa depan.
"Pada
Maret 2004, penjualan produk LCD Samsung sudah mencapai 1,1 triliun won
(US$ 860 juta)", tulis globalsources.com pada akhir April lalu. Angka
penjualan ini sudah menyalip LG dan hanya kalah dari Philips.
Kecuali itu, munculnya produk hi-end
mendahului banyak pesaing juga mendongkrak kepercayaan masyarakat
terhadap produk TV biasa yang masih banyak ditawarkan sekarang. Hal ini
membuat Samsung mampu merebut pasar TV dunia dari Sony, 'saudara tua?
yang dulu merakitkan produk TV hitam-putih di masa awal berdirinya sang chaebol.
Kemajuan
di industri TV ini ikut membuat produk Samsung yang terkait, seperti
monitor komputer, terdongkrak tinggi dari segi teknologi ataupun citra.
Hebatnya lagi, mereka juga mulai berjaya di industri telepon seluler.
Sebelumnya, Samsung pernah mengayun langkah nekat membanjiri dunia
dengan memory chip sampai akhirnya berakibat menjadi perusahaan semikonduktor terakbar di planet bumi.
Dalam
hal Vodafone, keberhasilan perusahaan ini berkibar menjadi operator
telepon nirkabel terbesar di dunia lebih merupakan hasil dari strategi
yang mirip BP ketimbang JetBlue atau Samsung. Perusahaan Inggris yang
terdaftar di Wall Street dan London Stock Exchange ini terutama banyak
mengakuisisi ketika di bawah komando Sir Christopher Gent, CEO yang lalu.
Bukan
berarti, setelah mampu melebarkan sayap bisnis ke seluruh Eropa, AS ?
bahkan sampai ke Jepang dan Cina di Asia serta Australia dan Selandia
Baru ? Vodafone di bawah CEO Arun Sarin malas unjuk gigi. Baru 6 bulan
menduduki jabatan puncak, Sarin telah mengerahkan daya buat mencaplok
AT&T Wireless, operator telepon nirkabel terbesar AS. Upaya akuisisi
senilai US$ 35 miliar ini memang gagal, tetapi telah menunjukkan DNA
dari Vodafone sebagai perusahaan yang agresif walau harus berkonsolidasi
internal.
Strategi
Vodafone jelas, Mereka ingin membangun perusahaan komunikasi global
yang efektif, tersentralisasi, dan mampu menguasai pasar di berbagai
belahan dunia. Upaya akuisisi AT&T Wireless adalah jalan termudah
menjadi operator telepon nirkabel terbesar di AS. Apalagi, AT&T
memiliki jaringan GSM yang dengan mudah dapat diintegrasikan dengan
jaringan mereka di Eropa.
Di
Jepang, Vodafone juga berupaya meningkatkan pangsa pasar yang baru
18,4%. Namun, rupanya tak gampang menyalip KDDI yang tumbuh pesat,
apalagi NTT DoCoMo dan KDDI yang telah lama menancapkan dominasinya. Di
Eropa sendiri, Sarin tak menyembunyikan ambisi mencaplok Groupe SFR
Cegetel dari Vivendi Universal yang sedang limbung dan mengambil alih
23,1% saham Verizon Communications Inc. di Vodafone, Italia. Para analis
yakin, Sarin juga telah mengincar India dan Rusia. "Nothing is imminent, and everything is possible", ujar lelaki kelahiran India itu.
Untuk
bisa besar dan memenangkan persaingan global yang supersengit, peluang
memang tak boleh dibatasi. Segala langkah, walau kelihatan nekat bahkan
edan, harus berani diayun. Kalau tidak, pesaing akan melompat lebih
dulu.
Widyatama Blog Contest